KESUKUBANGSAAN DAN INTEGRASI
NASIONAL
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Lembaran
sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum dan sesudah tanggal 17 Agustus
1945 penuh terisi dengan berbagai pertentangan. Melewati tahun 1945,
pertentangan semacam itu justru terjadi di antara tokoh-tokoh dan kelompok
social politik yang sebelum itu hasrat pengabdian mereka kepada kepentingan
bangsa telah mampu mengalahkan kepentingan masing-masing, demi menciptakan
kemerdekaan bangsa. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sesungguhnya merupakan
suatu cita-cita yang masih harus diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia di
tengah kemajemuan dan keberagaman.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
keadaan kesukubangsaan di Indonesia?
2. Bagaimanakah
hubungan kesukubangsaan dengan integrasi nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kesukubangsaan
di Indonesia
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara
horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social
berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, serta perbedaan kedaerahan.
Secara vertical, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan
vertical antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku
bangsa, perbedaan agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula
dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia-Belanda. Menurut Furnivall, masyarakat Indonesia pada masa
Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat majemuk (plural societies), yakni
suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan
politik. Ada beberapa factor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat
Indonesia terjadi. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang
lebih 3000 pulau yang tersebar di seluruh nusantara merupakan factor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa di
Indonesia. Keadaan seperti itu memaksa nenek moyang bangsa Indonesia hidup
menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis yang
demikian mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara tumbuh
menjadi kesatuan suku bangsa yang terisolasi dari kesatuan suku bangsa yang
lain. Tiap kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan
oleh ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis
tersendiri. Mereka pada umumnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang
sama dan mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan
yang sama yang sering kali didukung oleh mitos-mitos yang hidup di masyarakat.
Para
ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang berapa jumlah suku-suku bangsa
yang ada di Indonesia. Hildred Geertz menyebutkan ada lebih dari 300 suku
bangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas cultural yang
berbeda-beda. Skinner menyebutkan ada 35 suku bangsa di Indonesia,
masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama. Beberapa suku bangsa yang
tergolong paling besar menurut Skinner yaitu Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau,
Bugis, Batak, Bali, Betawi, Melayu, Banjar, Aceh, Sasak, Dayak, Toraja, dan
lain-lain.
Factor
yang kedua yaitu kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera Pasifik
dan samudera Hindia yang sangat mempengaruhi pluralitas agama di Indonesia.
Karena letaknya berada di tengah lalu lintas perdagangan laut melalui kedua
samudera tersebut, maka Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan
bangsa lain melalui para pedagang asing.
2.
Kesukubangsaan
dan Integrasi Nasional
Persatuan di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang
baru karena consensus nasional utama (Proklamasi 1945) pernah tercetus. Struktur
masyarakat Indonesia menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat
Indonesia terintegrasi secara nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat
multi-dimensional akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana
masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara strativikasi
sosial yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada
integrasi nasional yang bersifat vertikal.
Van den Berghe mengemukakan sifat dasar dari suatu
masyarakat majemuk, yaitu :
1.
Terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki sub-sub
kebudayaan yang berbeda satu sama lain,
2.
Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
non-komplementer,
3.
Kurang
mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai
sosial yang bersifat dasar,
4.
Secara
relatif, sering terjadi konflik di antara kelompok satu dengan kelompok yang
lain,
5.
Secara
relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan
dalam bidang ekonomi,
6. Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Menurut
R.William Liddle, suatu integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang
apabila: 1) sebagian besar anggota suatu masyarakat bersepakat tentang
batas-batas territorial dari Negara sebagai suatu kehidupan politik dimana
mereka menjadi warganya, dan 2) apabila sebagian besar anggota masyarakat
tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari
proses-proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah
negara tersebut. Dengan kata lain, suatu integrasi nasional yang tangguh hanya
akan berkembang di atas consensus nasional mengenai batas-batas suatu
masyarakat politik dan system politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat
tersebut.
Secara
yuridis-formal, Pancasila sebagai dasar falsafah Negara telah diterima sebagai
kesepakatan nasional. Pertama, Pancasila pada hakekatnya merupakan pernyataan
perasaan anti kolonialisme. Kedua, Pancasila merupakan pernyataan bersama dari
berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk menyemaikan toleransi dan akomodasi
timbal balik yang bersumber pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia,
meliputi toleransi dan akomodasi dalam bidang kesukuan, keagamaan, kedaerahan,
dan pelapisan social. Ketiga, Pancasila merupakan perumusan tekad bersama
bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama di atas dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut kemudian dijabarkan ke dalam bentuk norma-norma hukum
berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, maka Pancasila telah menjadi factor yang mengintegrasikan
masyarakat Indonesia.
Sifat
majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi penyebab timbulnya
konflik-konflik social sekaligus mendorong tumbuhnya proses integrasi social di
atas landasan coercion. Akan tetapi,
proses integrasi tersebut juga terjadi atas landasan consensus bangsa Indonesia
mengenai nilai-nilai fundamental tertentu.
Indonesia
terdiri dari berbagai suku bangsa, namun suku bangsa yang berbeda-beda tersebut
dapat bersama-sama menjadi anggota dari suatu golongan yang sama, misalnya
agama, profesi, partai politik, dan sebagainya. Dengan kata lain, perbedaan
suku bangsa, agama, dan pelapisan social saling silang-menyilang satu sama lain
menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang-menyilang juga
(cross-cutting affiliations). Keadaan yang demikian, menyebabkan
konflik-konflik antara golongan di Indonesia tidak terlalu tajam, karena cross cutting affiliations senantiasa
menghasilkan cross cutting loyalities.
Konflik suku bangsa misalnya, akan segera diredusir oleh bertemunya loyalitas
agama, daerah, dan pelapisan social dari para anggotanya.
Bersama
dengan tumbuhnya consensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme Pancasila
yang senantiasa bertanggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian
konflik yang bersifat coercive, maka struktur masyarakat Indonesia yang
bersifat silang-menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat
Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pluralitas
masyarakat Indonesia yang terbentuk sejak awal ternyata mengendala proses pengintegrasian
horizontal bangsa ini, sedangkan strativikasi social yang telah mengkristal,
menghambat tumbuhnya integrasi secara vertical. Kebhinekaan yang relative
lestari tersebut, pada sisi yang lain menguatkan latenitas konflik dan juga
dapat menghambat pembangunan social, politik, dan ekonomi. Konflik adalah
bawaan suatu bangsa, apalagi dengan sifat yang bhineka, tetapi hal ini tidak
mengurangi upaya kita untuk mencari factor-faktor yang mampu mengintegrasikan
bangsa ini sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk berkata satu nusa,
satu bangsa, satu bahasa dan bertindak dalam satu perilaku yang selaras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar