Selasa, 01 Januari 2013

Sosiologi Pariwisata Alkid



SOSIOLOGI PARIWISATA
“ALKID” (ALUN-ALUN KIDUL) YOGYAKARTA

  1. Deskripsi Lokasi
Alun-alun Kidul merupakan bagian belakang Kraton Yogyakarta. Menurut sejarahnya, alun-alun Kidul dibuat untuk mengubah suasana bagian belakang kraton menjadi seperti bagian depan karena Gunung Merapi, Kraton Yogyakarta, dan laut Selatan Pulau Jawa jika ditarik dalam satu garis imajiner akan membentuk satu garis lurus. Agar posisi Kraton Yogyakarta tidak seperti membelakangi laut Selatan, maka dibangunlah Alun-alun Selatan. Alun-Alun Kidul bisa dijangkau dengan berjalan ke arah selatan dari Sentra Makanan Khas Gudeg Wijilan. Disimbolkan dengan gajah yang memiliki watak tenang. Alun-Alun Kidul merupakan penyeimbang Alun-Alun Utara yang memiliki watak ribut. Karenanya, Alun-Alun Kidul dianggap tempat palereman (istirahat) para Dewa. Dan jelas kini sudah menjadi tempat ngleremke ati (menenangkan hati) bagi banyak orang. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica), pakel (Mangifera sp), dan kuini (Mangifera odoranta). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok, dari kata bewok (jenggot).

  1. Fenomena Lapangan
Kehidupan alun-alun selatan dimulai pagi hari terutama untuk aktivitas olahraga, lalu break ketika siang hari karena memang kalau siang hari kawasan alun-alun Selatan betul-betul panas. Pukul lima sore adalah awal keramaian Alun-Alun Kidul. Tenda-tenda pedagang mulai didirikan dan bahan makanan atau minuman yang akan dijajakan pun disiapkan. Begitu gelap, anda bisa mulai menjajal makanan dan minuman yang dijajakan. Bila berjalan ke salah satu sudutnya, anda akan menemukan kedai ronde, sebuah minuman berkomposisi wedang jahe, kacang, kolang kaling dan bulatan dari tepung beras berisi gula jawa cair yang hangat. Harganya pun cukup murah, hanya sekitar Rp 5.000. Jika lapar, anda juga dapat menyantap berbagai hidangan. Bebakaran seperti jagung bakar, pisang bakar dan roti bakar. Pilihan lauk bila ingin bersantap dengan nasi juga tersedia. Ayam bakar, berbagai macam ikan bakar hingga tempe tersedia. Masakannya mungkin biasa, tetapi bila mampu menjadikan nuansa alun-alun kidul sebagai bumbu masakannya, tentu akan menjadi luar biasa. Dengan konsep lesehan, umumnya warung makan di kawasan alun-alun ini menjajakan makanan dengan harga tak mahal. Anda bisa kenyang dengan hanya mengeluarkan Rp 5000,00 saja. Usai memanjakan lidah, anda bisa mencoba atraksi yang dinamai Masangin, yaitu melewati jalan antara dua beringin yang ada di tengah alun-alun dengan mata ditutup kain hitam. Konon, jika orang mampu melewatinya dan tak serong atau menabrak maka ia akan mendapat berkah tak terhingga. Tapi, jangan mencoba untuk mengintip, sebab jika dilakukan anda akan masuk ke dunia lain. Anda akan mendapati alun-alun dalam keadaan sepi dan sulit untuk kembali ke alam nyata lagi. Untuk mencobanya, anda cukup menyewa kain hitam seharga Rp 3.000,00.
  1. Rumusan Masalah
Ø  Apa sajakah fenomena sosiologi yang terjadi di tempat wisata Alkid ini?
  1. Pembahasan
1.      Kajian Teori
Talcott Parsons mencetuskan sebuah teori yang disebut dengan Teori Fungsionalisme Struktural. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan. Fungsi adalah suatu gugusan aktivitas yang diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan sistem. Menggunakan definisi ini, Parsons percaya bahwa ada empat imperative fungsional yang diperlukan (atau menjadi ciri) seluruh sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, latensi.
1.      Adaptasi: sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2.      Pencapaian tujuan: sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.
3.      Integrasi: sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperative di atas.
4.      Latensi: sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaharui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma.
2.      Pokok-Pokok Temuan
Kota-kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta, umumnya memiliki persoalan dengan ruang publiknya, dari persoalan parkir, PKL, kemacetan lalu lintas, ketertiban sampai kekumuhan. Ruang publik sendiri berarti ruang dimana setiap orang berhak datang dan menggunakannya tanpa membedakan tingkat/kelas ekonomi dan sosial seseorang, sehingga siapapun berhak menggunakannya tanpa terkecuali. Namun demikian, setiap orang yang memanfaatkan wajib ikut menjaga dan memeliharanya, seperti menjaga kebersihan, keamanan, ketertiban dan kenyamanan, dan tidak merusak fasilitas yang ada. Alun-alun merupakan salah satu ruang publik. Alun-alun kidul di kota Yogyakarta sendiri juga telah menjadi ruang publik yang istimewa. Belum lagi ketika malam hari, alun-alun kidul menjadi semakin ramai dengan keberadaan sepeda-sepeda yang dihiasi dengan lampu-lampu yang bisa disewa dengan harga Rp. 20.000 sampai dengan Rp. 25.000 untuk mengelilingi alun-alun. Berbagai tempat makan juga tersedia disini, angkringan khas Jogja, jagung bakar, ronde, bajigur, diramaikan juga oleh para seniman jalanan (pengamen), kita juga bisa mencoba atraksi yang dinamakan Masangin, yaitu melewati jalan antara dua beringin yang ada di tengah alun-alun dengan mata ditutup kain hitam. Para pedagang, pengamen, dan pelaku wisata disini juga memiliki kartu anggota yang dikelola oleh pemerintah daerah, ini dimaksudkan agar lebih mudah dalam melakukan koordinasi dan pendataan. Tetapi ada juga pengamen dan pedagang yang tidak memiliki kartu anggota. Ketika hari mulai gelap, Alkid mendadak berubah menjadi ajang berkencan oleh pasangan muda-mudi, fenomena yang sangat kontras dengan peristiwa sebelumnya, dari suasana dan suara hiruk pikuk anak-anak, menjadi suasana yang remang-remang. Di sepanjang jalan di sekeliling alun-alun dapat dengan mudah dijumpai pasangan muda-mudi yang asyik dengan diri mereka sendiri, tanpa memperdulikan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut jauh dari nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Fenomena ini menjadi salah satu bukti bahwa ruang publik kadang-kadang mengalami pemaknaan yang keliru, dimana orang sering beranggapan bahwa ruang publik adalah ruang yang bebas diakses siapapun dengan tujuan apapun, tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan yang lain, melanggar norma atau peraturan sekalipun. Dalam situasi seperti ini, yang paling mungkin diandalkan adalah adanya kontrol masyarakat terhadap segala aktivitas di lingkungannya, juga terhadap dampak-dampak yang mungkin akan muncul dari kegiatan-kegiatan yang berkonotasi negatif seperti di atas.

Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional



KESUKUBANGSAAN DAN INTEGRASI NASIONAL

BAB I
A.    Latar Belakang Masalah
Lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum dan sesudah tanggal 17 Agustus 1945 penuh terisi dengan berbagai pertentangan. Melewati tahun 1945, pertentangan semacam itu justru terjadi di antara tokoh-tokoh dan kelompok social politik yang sebelum itu hasrat pengabdian mereka kepada kepentingan bangsa telah mampu mengalahkan kepentingan masing-masing, demi menciptakan kemerdekaan bangsa. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sesungguhnya merupakan suatu cita-cita yang masih harus diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia di tengah kemajemuan dan keberagaman.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah keadaan kesukubangsaan di Indonesia?
2.      Bagaimanakah hubungan kesukubangsaan dengan integrasi nasional?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kesukubangsaan di Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, serta perbedaan kedaerahan. Secara vertical, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertical antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Menurut Furnivall, masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat majemuk (plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Ada beberapa factor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia terjadi. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3000 pulau yang tersebar di seluruh nusantara merupakan factor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia. Keadaan seperti itu memaksa nenek moyang bangsa Indonesia hidup menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis yang demikian mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang terisolasi dari kesatuan suku bangsa yang lain. Tiap kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Mereka pada umumnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama dan mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama yang sering kali didukung oleh mitos-mitos yang hidup di masyarakat.
Para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang berapa jumlah suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Hildred Geertz menyebutkan ada lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas cultural yang berbeda-beda. Skinner menyebutkan ada 35 suku bangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama. Beberapa suku bangsa yang tergolong paling besar menurut Skinner yaitu Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Bali, Betawi, Melayu, Banjar, Aceh, Sasak, Dayak, Toraja, dan lain-lain.
Factor yang kedua yaitu kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera Pasifik dan samudera Hindia yang sangat mempengaruhi pluralitas agama di Indonesia. Karena letaknya berada di tengah lalu lintas perdagangan laut melalui kedua samudera tersebut, maka Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing.

2.      Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional
Persatuan di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang baru karena consensus nasional utama (Proklamasi 1945) pernah tercetus. Struktur masyarakat Indonesia menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multi-dimensional akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara strativikasi sosial yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertikal.
Van den Berghe mengemukakan sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yaitu :
1.      Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki sub-sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain,
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer,
3.      Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar,
4.      Secara relatif, sering terjadi konflik di antara kelompok satu dengan kelompok yang lain,
5.      Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi,
6.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Menurut R.William Liddle, suatu integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila: 1) sebagian besar anggota suatu masyarakat bersepakat tentang batas-batas territorial dari Negara sebagai suatu kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya, dan 2) apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses-proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut. Dengan kata lain, suatu integrasi nasional yang tangguh hanya akan berkembang di atas consensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan system politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat tersebut.
Secara yuridis-formal, Pancasila sebagai dasar falsafah Negara telah diterima sebagai kesepakatan nasional. Pertama, Pancasila pada hakekatnya merupakan pernyataan perasaan anti kolonialisme. Kedua, Pancasila merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk menyemaikan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia, meliputi toleransi dan akomodasi dalam bidang kesukuan, keagamaan, kedaerahan, dan pelapisan social. Ketiga, Pancasila merupakan perumusan tekad bersama bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama di atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dijabarkan ke dalam bentuk norma-norma hukum berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka Pancasila telah menjadi factor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia.
Sifat majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi penyebab timbulnya konflik-konflik social sekaligus mendorong tumbuhnya proses integrasi social di atas landasan coercion. Akan tetapi, proses integrasi tersebut juga terjadi atas landasan consensus bangsa Indonesia mengenai nilai-nilai fundamental tertentu.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, namun suku bangsa yang berbeda-beda tersebut dapat bersama-sama menjadi anggota dari suatu golongan yang sama, misalnya agama, profesi, partai politik, dan sebagainya. Dengan kata lain, perbedaan suku bangsa, agama, dan pelapisan social saling silang-menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang-menyilang juga (cross-cutting affiliations). Keadaan yang demikian, menyebabkan konflik-konflik antara golongan di Indonesia tidak terlalu tajam, karena cross cutting affiliations senantiasa menghasilkan cross cutting loyalities. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera diredusir oleh bertemunya loyalitas agama, daerah, dan pelapisan social dari para anggotanya.
Bersama dengan tumbuhnya consensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme Pancasila yang senantiasa bertanggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik yang bersifat coercive, maka struktur masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa.

BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pluralitas masyarakat Indonesia yang terbentuk sejak awal ternyata mengendala proses pengintegrasian horizontal bangsa ini, sedangkan strativikasi social yang telah mengkristal, menghambat tumbuhnya integrasi secara vertical. Kebhinekaan yang relative lestari tersebut, pada sisi yang lain menguatkan latenitas konflik dan juga dapat menghambat pembangunan social, politik, dan ekonomi. Konflik adalah bawaan suatu bangsa, apalagi dengan sifat yang bhineka, tetapi hal ini tidak mengurangi upaya kita untuk mencari factor-faktor yang mampu mengintegrasikan bangsa ini sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk berkata satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dan bertindak dalam satu perilaku yang selaras.